Surah Al-Fatihah : Keragaman dan Ikhtilaf dalam Penamaannya


Image result for alfatihah

Surah Al-Fatihah merupakan surat pertama (pembuka) yang ada dalam al-Qur'an. Terkait namanya, Imam al-Baghawiy (w. 516 H) menyebutkan dalam Ma'alimut Tanzil bahwa surat al-Fatihah memiliki 3 nama yaitu Fatihatul Kitab, Ummul Qur'an dan as-Sab'u al-Matsaniy.

ولها ثلاثة أسماء معروفة: فاتحة الكتاب، وأم القرآن، والسبع المثاني

Imam an-Naisaburiy mengatakan bahwa jumlah nama surat al-Fatihah adalah banyak, ada sekitar 13 nama yang beliau sebutkdan dalam tafsirnya yaitu Fatihatul Kitab (فاتحة الكتاب), surah al-Hamd (سورة الحمد), Ummul kitab dan Ummul Qur'an (أم الكتاب وأم القرآن), as-Sab'u al-Matsaniy (السبع المثاني), al-Wafiyyah (الوافية), al-Kafiyyah (الكافية), asy-Syifa' dan asy-Syafiyah (الشفاء والشافية), al-Asas (الأساس), ash-Shalah (الصلاة), surah Ta'limul Mas'alah (سورة تعليم المسألة), surah al-Kanz (سورة الكنز).

Imam ar-Raziy juga menuturkan bahwa nama surah al-Fatihah adalah banyak. Nama-nama yang beliau sebutkan dalam kitabnya antara lain ; Fatihatul Kitab , surah al-Hamd, Ummul Qur'an, as-Sab'u al-Matsaniy, al-Wafiyyah, al-Kafiyyah, al-Asas, asy-Syifa', ash-Shalah, as-Sual (السؤال), surah asy-Syukr (سورة الشكر), surah ad-Dua' (سورة الدعاء).

Sedangkan Imam al-Qurthubiy (w. 671 H) menyebutkan 12 nama yaitu ash-Shalah (الصلاة), al-Hamd (الحمد), Fatihatul Kitab (فاتحة الكتاب), Ummul Kitab (أم الكتاب), Ummul Qur'an (أم القرآن), al-Matsaniy (المثاني), al-Qur'an al-'Adzim (القرآن العظيم), asy-Syifa' (الشفاء), ar-Ruqiyyah (الرقية), al-Asas (الأساس), al-Wafiyyah (الوافية) dan al-Kafiyyah (الكافية).

Penamaan "al-Fatihah" sendiri maksudnya adalah pembukaan al-Kitab (fatihatul kitab) hanya secara tulisan saja, yang merupakan bacaan pembuka di dalam shalat dan para sahabat memulai menulis mushhaf Imam dengannya. Ibnu Katsir (w. 774 H) menuturkan ini didalam tafsirnya.

Nama ash-Shalah (الصلاة) sebagaimana disebutkan Imam al-Qurthubiy, disebutkan pula oleh Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), Imam an-Naisaburiy dan Imam Fakhruddin ar-Raziy ; adalah berdasarkan firman Allah dalam sebuah hadits,

قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين، فإذا قال العبد: الحمد لله رب العالمين، قال الله: حمدني عبدي

"Aku bagikan shalat diantara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, apabila seorang hamba berkata, "al-Hamdulillahi Rabbil 'alamiyn", maka Allah berfirman ; hamba-Ku telah memuji-Ku"

Kata ash-Shalah dalam hadits ini maksudnya adalah surat al-Fatihah, begitulah yang dituturkan oleh Imam ar-Raziy dan Imam an-Naisaburiy. Menurut al-Imam an-Nasaiburiy, darinya juga dapat diketahui kewajiban membaca surat al-Fatihah didalam shalat. Dalam Tafsirul al-Qur'an al-'Adzim dikemukakan alasan penamaan ash-Shalah yaitu karena termasuk syarat dari shalat. Imam az-Zamakhsyariy didalam tafsir al-Kasyaf juga menamakan surat al-Fatihah dengan nama ash-Shalah sebagaimana penuturan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Sedangkan nama surah al-Hamdu (سورة الحمد), karena didalamnya disebutkan lafadz al-Hamd, sebagaimana Ulama mengatakan surat al-A'raf, surat al-Anfal, surat at-Taubah dan seumpamanya. Alasan ini dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya. Imam ar-Raziy mengatakan, sebab diawal-awalnya terdapat lafadz al-Hamd. Demikian juga Imam an-Naisaburiy.

Dinamakan Fatihatul Kitab (فاتحة الكتاب) karena Allah memulai pembukaan al-Qur'an dengan surat tersebut, Imam al-Baghawiy telah menuturkan alasan ini. Sedangkan al-Qurthubi mengatakan karena secara lafadz pembukaan bacaan al-Qur'an dimulai dengannya, secara tulisan penulisan mushhaf dibuka dengannya dan demikian juga pembukaan shalat. Imam an-Naisaburiy menambahkan, yaitu karena al-Hamd (surat al-Fatihah) merupakan pembuka setiap kitab sebagaimana pembuka pada al-Qur'an. Imam ar-Raziy mengatakan sebab dinamakan demikian karena pada al-Mushhaf juga Ta'lim (pengajian) dibuka dengannya, termasuk juga didalam shalat. Dikatakan juga, karena merupakan surat yang pertama kali diturunkan dari langit. Ibnu Katsir menuturkan 3 pendapat terkait masalah ini, ada yang mengatakan (Qil) surat al-Fatihah adalah surat yang pertama kali turun sebagaimana riwayat didalam kitab Dalailun Nubuwwah lil-Baihaqiy, (qil) pendapat lainnya mengatakan yang pertama kali turun adalah surat al-Muddatstsir, namun yang shahih menurut Ibnu Katsir, yang pertama kali turun adalah surat al-'Alaq. Al-Qurthubi mengatakan bahwa tidak ada perselisihan diantara Ulama mengenai penamaan ini.

Penamaan Ummul Kitab dan Ummul Qur'an menurut al-Baghawiy karena merupakan pokok (dasar) al-Qur'an yang merupakan permulaan al-Qur'an. Sedangkan menurut al-Qurthubiy, nama Ummul Kitab (أم الكتاب) merupakan nama yang diperselisihkan. Jumhur 'Ulama memperbolehkan penamaan tersebut, sedangkan Anas, al-Hasan dan Ibnu Siyrin tidak menyukainya. Ibnu Katsir juga mengemukakan hal ini, disebutkan juga didalam kitab al-Muharrar al-Wajiz. al-Qurthubiy menyebutkan alasan kenapa mereka tidak menyukai penamaan Ummul kitab sebagai berikut,

قال الحسن : أم الكتاب الحلال والحرام ، قال الله تعالى : {آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ} وقال أنس وابن سيرين : أم الكتاب اسم اللوح المحفوظ. قال الله تعالى : {وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ}.

"al-Hasan berkata, Ummul Kitab adalah Halal dan Haram, Allah berfirman ; Ayat-ayat Muhkamaat adalah Ummul Kitab, dan yang lainnya adalah Mutasyabihat" (QS. Ali Imran : 7). Anas dan Ibnu Siyrin berkata, Ummul Kitab adalah nama al-Lauh al-Mahfudz, Allah berfirman ; "Sesungguhnya (al-Qur'an) itu di Ummul Kitab" (QS. az-Zukhruf : 4)."

Kata "Ummul Kitab" pada QS. az-Zukhruf : 4, didalam beberapa kitab tafasir memang ditafsirkan sebagai Lauh Mahfudz, semisalnya dalam tafsir Jalalain,

{ وإنه } مثبت { فى أم الكتاب } أصل الكتب أي اللوح المحفوظ

"{di Ummul Kitab} pokok al-Kitab yaitu al-Lauh al-Mahfudz".

al-Baghawiy didalam Ma'alimut Tanzil

وَإِنَّهُ } يعني القرآن، { فِي أُمِّ الْكِتَابِ } في اللوح المحفوظ. قال قتادة: "أم الكتاب": أصل الكتاب

"{dan sesungguhnya} yakni al-Qur'an {di Ummul Kitab} didalam al-Lauful Mahfudz. Qatadah berkata, Ummul Kitab adalah ashl (pokok) al-Kitab"

asy-Syaukaniy didalam Fathul Qadir,

{ وإنه فى أم الكتاب } أي : وإن القرآن في اللوح المحفوظ

"yakni al-Qur'an yang ada di Lauh Mahfudz"

Ibnu Katsir didalam Tafsirul Qur'an al-'Adzim,

{ وإنه } أي: القرآن { في أم الكتاب } أي: اللوح المحفوظ، قاله ابن عباس، ومجاهد

"{dan sesungguhnya} yakni al-Qur'an {di Ummul Kitab} maksudnya al-Lauful Mahfudz, ini pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid".

Dan berbagai kitab tafsir lainnya menyebutkan hal yang sama, namun ada juga yang mengatakan (Qil) Ummul kitab adalah ayat-ayat Muhkamat berdasarkan QS. Ali 'Imran diatas, pokok (ashl) al-Kitab seperti pendapat Qatadah dan lain sebagainya.

Mengenai perselisihan penamaan "Ummul Kitab", Ibnu Katsir juga menyebutkannya dalam kitabnya berkaitan dengan al-Hasan dan Ibnu Siyrin.

قال الحسن وابن سيرين: إنما ذلك اللوح المحفوظ، وقال الحسن :الآيات المحكمات :هن أم الكتاب، ولذا كرها

"al-Hasan dan Ibnu Siyrin berkata, sesungguhnya itu (Ummul kitab) adalah Lauh Mahfudz, dan al-Hasan juga berkata, ayat-ayat Muhkamat itu adalah Ummul Kitab, oleh karena itulah tidak menyukainya"

Imam Bukhariy menyebutnya dengan nama Ummul Kitab karena penulisan didalam al-Mushhaf dimulai dengannya dan juga pembacaan didalam shalat dimulai dengannya. Dikatakan (Qil), bahwa dinamakan Ummul kitab karena semua makna al-Qur'an merujuk kepada apa yang terkandung didalamnya. Hal ini sesuai dengan penuturan Ibnu Katsir, sebelumnya juga disebutkan oleh al-Qurthubiy dan disebutkan pula didalam al-Muharrar al-Wajiz. Ibnu Abbas termasuk yang menamakannya sebagai Ummul Kitab.

Mengenai Ummul Qur'an (أم القرآن), walaupun sebenarnya Ulama ada yang tidak memisahkan antara Ummul Kitab dan Ummul Qur'an. Namun dalam tafsir al-Qurthubiy, nama ini dipisah akan tetapi dikomentari sama. Imam al-Qurthubiy menuturkan, Ulama juga berselisih dengan nama ini. Jumhur Ulama memperbolehkannya, sedangkan Anas dan Ibnu Siyrin tidak menyukainnya. Didalam kitab al-Muharrar al-Wajiz, perselisihan ini juga disebutkan. Hadits-hadits yang tsabit telah membantah qoul keduanya tersebut, diantaranya riwayat Imam at-Turmidziy dari Abu Hurairah,

حدثنا عبد بن حميد حدثنا أبو علي الحنفي عن ابن أبي ذئب عن المقبري عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الحمد لله أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

"Mengabarkan kepada kami Abdu bin Hamaid, mengabarkan kepada kami Abu 'Ali al-Hanafiy dari Ibnu Abi Di'b dari al-Maqburiy dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah bersabda "al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamiyn adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab dan as-Sab'ul Matsaniy". Abu 'Isa berkata, hadits ini Hasan Shahih"

Hadits diatas disebutkan oleh al-Qurthubiy dan Ibnu Katsir didalam kitab tafsir keduanya. Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya menuturkan riwayat yang sama.

حدثنا إسماعيل بن عمر قال حدثنا ابن أبي ذئب عن المقبري عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الحمد لله أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني

"Mengabarkan kepada kami Isma'il bin Umar dari Ibnu Abi Di'b dari al-Maqburiy dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah bersabda "al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamiyn adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab dan as-Sab'ul Matsaniy".

Demikian juga didalam Sunan ad-Darimiy (3437),

أخبرنا أبو على الحنفى حدثنى ابن أبى ذئب عن المقبرى عن أبى هريرة قال قال رسول الله الحمد لله أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثانى

"Mengabarkan kepada ku Abu 'Ali al-Hanafiy, mengabarkan kepadaku Ibnu Abi Di'b dari al-Maqburiy dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah bersabda "al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamiyn adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab dan as-Sab'ul Matsaniy".

Yahyah bin Ya'mar berkata, "Ummul Quraa adalah Makkah, Ummu Khurasan adalah Marw dan Ummul Qur'an adalah al-Hamd". al-Hasan bin Abi al-Hasan berkata, namanya adalah Ummul Qur'an. Hal ini disebutkan didalam al-Muharrar al-Wajiz.

Terkait dengan nama Ummul Kitab dan Ummul Qur'an, Imam an-Naisaburiy juga mengemukakan alasan penamaannya yaitu karena surah al-Fatihah merupakan ashl (pondasi) dari al-Qur'an dan ashl (pondasi) kitab-kitab yang diturunkan, terdiri atas masalah al-Ilahiyyah (ketuhanan), hari pembalasan (al-ma'adz), penetapan Qadla', Qadar dan Nubuwwat. Juga karena didalam surah al-Fatihah terdapat apa yang terkandung dalam kitab-kitab samawiyah, seperti pujian kepada Allah, penghambaan kepada Allah dan keta'atan, hal-hal yang mukasyaf (tersembunyi) dan yang nampak, atau karena maksud dari seluruh ilmu adalah untuk mengetahui hal-hal rububiyah dan 'ubudiyyah, semua itu terkandung dalam surah al-Fatihah, atau juga karena surah al-Fatihah merupakan surah yang paling mulya sebagaimana Makkah yang merupakan Ummu Qura, paling mulya negeri.

Imam ar-Raziy bahkan lebih memperinci lagi mengenai penamaan diatas dengan menuturkan beberapa pendapat mengenai hal itu. Pertama, penamaan Ummul Qur'an karena merupakan induk hal-hal yang pokok, berisi mengenai maksud-maksud yang terkandung didalam al-Qur'an seperti masalah Ketuhanan, hari pembalasan, Nubuwwah dan ketetapan Qadla' Qadar Allah.

فقوله : { الحمد لله رب العالمين الرحمن الرحيم } يدل على الإلهيات ، وقوله : { مالك يوم الدين } يدل على المعاد ، وقوله : { إياك نعبد وإياك نستعين } يدل على نفي الجبر والقدر وعلى إثبات أن الكل بقضاء الله وقدره ، وقوله : { اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين } يدل أيضا على إثبات قضاء الله وقدره وعلى النبوات

"{al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamiin, ar-Rahmaan ar-Rahiim} menunjukkan atas ketuhanan (ilahiyyah), {Maliki yaumiddiin} menunjukkan hari Pembalasan (hal-hal ghaib), {Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin} menunjukkan atas penafian adanya kediktatoran (pemaksaan) dan kebebasan hakiki, padanya terdapat ketetapan yang semuanya berdasarkan Qadla dan Qadar Allah. {Ihdinash shirathal mustaqiim....} menunjukkan atas Qadla' Qadar Allah dan juga Nubuwwat.

Kedua, bahwa seluruh kitab-kitab Ilahiyah mengandung 3 hal yang semua terkandung didalam surat al-Fatihah yaitu tentang pujian kepada Allah dengan lisan, terkait penghambaan dan ketaatan dan hal-hal yang tidak nampak (kasyaf) dan yang nampak. Ketiga, penamaan surat ini dengan nama Ummul Kitab ; sesungguhnya karena tujuan dari seluruh ilmu-ilmu (pengetahuan) adalah mengetahui tentang hal-hal Rububiyyah dan mengetahui tentang 'Ubudiyyah dan semua itu juga terkandung dalam surah al-Fatihah. Keempat, sesungguhnya didalamnya terdapat ilmu-ilmu basyariyah ; untuk mengetahui dzat Allah, sifat-sifat Allah dan af'al Allah, semua itu terkait dengan ilmu ushul (pokok), adapun mengetahui hukum-hukum Allah dan kewajiban-kewajiban kepada Allah, terkait ilmu furu' (cabang) dan lain sebagainya.

Al-Matsaniy (المثاني) juga merupakan nama surat al-Fatihah, penyebutan al-Matsaniy karena pembacaannya diulang-ulang pada setiap raka'at shalat, alasan ini dikemukan oleh al-Baghawiy dan juga al-Qurthubiy. Imam al-Baghawiy menyebutnya dengan as-Sab'u al-Matsaniy (السبع المثاني), karena terdiri dari 7 ayat berdasarkan kesepakatan Ulama dan al-Matsaniy karena surat al-Fatihah diulang-ulang didalam shalat, yaitu dibaca pada setiap raka'at shalat. Ibnu Katsir mengatakan tidak ada perbedaan mengenai jumlah 7 ayat tersebut dan dituturkan didalam tafsirnya bahwa penyebutan as-Sab'u al-Matsaniy itu sah, walaupun ada makna lain selain yang demikian.

Imam ar-Raziy menuturkan sebuah ayat berkaitan dengan nama as-Sab'u al-Matsaniy,

ولقد آتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم

"Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (as-Sab'ul minal Matsaniy) dan al-Qur'an al-'Adzim" (QS. al-Hijr ; 87)

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Imam ar-Raziy sendiri mengatakan bahwa pengertiannya adalah 7 hal dari jenis perkara-perkara yang berulang-ulang, dan tidak ada keraguan bahwa kadarnya mujmal, tidak ada ketentuan tertentu kecuali dengan dalil-dalil yang terperinci. Oleh karena itu Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Qoul kebanyakan Mufassirin, itu adalah Fatihatul Kitab (surah al-Fatihah), pendapat ini dipegang oleh Sayyidina Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Abi al-'Aliyah, Mujahid, ad-Dlahak, Said bin Jabir dan Qatadah.

قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك وسعيد بن جبير وقتادة

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi membaca surat al-Fatihah dan berkata, "itu adalah as-Sab'u al-Matsaniy".

Imam ar-Raziy berpegang pada qaul yang menafsirkannya sebagai surah al-Fatihah dan as-Samarqandiy menyebutkan bahwa kebanyakan Ahl al-Ilmi mengatakan as-Sab'u al-Matsaniy adalah surat al-Fatihah.

Pemilihan penafsiran bahwa as-Sab'ul minal Matsaniy adalah surah al-Fatihah adalah karena surah al-Fatihah terdiri dari 7 ayat. Adapun penamaan al-Matsaniy dalam ayat tersebut, terdapat beberapa qaul diantaranya karena surah al-Fatihah dibaca berulang-ulang pada setiap rakaat shalat. az-Zujaj berkata, karena apa yang dibaca bersama surat al-Fatihah berulang setelahnya. Dikatakan (Qil) karena pembagiannya dibagi menjadi dua bagian, dalil yang menunjukkannya adalah hadits yang sudah masyhur, Rasulullah bersabda,

يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين

"Allah ta'alaa berfirman, Aku bagikan shalat (surah al-Fatihah) diantara Aku dan diantara hamba-Ku menjadi dua bagian"

(Qil) al- Matsaniy karena surah al-Fatihah terbagi menjadi dua bagian namun berbeda dengan pembagian yang sebelumnya yaitu pujian dan do'a ; hak rububiyyah adalah pujian, dan hak ubudiyyah adalah do'a. (Qil) karena surah al-Fatihah diturunkan dua kali yaitu di Makkah dan di Madinah. Imam al-Baghawiy didalam tafsirnya juga mengemukakan adanya pendapat seperti ini, begitu juga Abu Laits as-Samarqandiy dan Imam al-Qurthubiy juga telah menukilnya sebagaimana penuturan Imam Ibnu Katsir. Imam Ibnu Katsir menilai pendapat seperti ini adalah gharib jiddan. (Qil) karena kalimat-kalimatnya berulang-ulang, contohnya,

"الرحمن الرحيم" (QS. al-Fatihah : 3)

"إياك نعبد وإياك نستعين * اهدنا الصراط المستقيم * صراط الذين أنعمت عليهم" (QS. al-Fatihah : 5-6)

Dan pada qira'ah Umar ;

"غير المغضوب عليهم وغير الضالين" (QS. al-Fatihah : 7)

(Qil) az-Zujaj berkata, dinamakan al-Matsaniy terdiri atas puji-pujian kepada Allah, pentauhidan dan kekuasaan bagi Allah.

Selain itu, Imam ar-Raziy juga menuturkan bahwa penamaan al-Matsaniy adalah karena menyangkut dua sanjungan (pujian) yaitu sebagian pujian hamba kepada Rabb-nya dan sebagian pemberian Allah kepada hamba-Nya, karena bacaaannya diulang-ulang pada setiap rakaat shalat, karena merupakan pengecualian dari seluruh kitab-kitab yang diturunkan (dalam hal ini diartikan sebagai pengecualian), hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam,

قال عليه الصلاة والسلام : والذي نفسي بيده ما أنزل في التوراة ، ولا في الإنجيل ولا في الزبور ولا في الفرقان مثل هذه السورة وإنها السبع المثاني والقرآن العظيم

"Demi diriku yang berada dalam kekuasannya-Nya, (surat ini) tidak pernah diturunkan didalam kitab at-Taurah, tidak pula didalam kitab Injil dan kitab Zabur, dan didalam al-Furqan (al-Qu'an) tidak ada yang serupa dengan surat ini, sesungguhnya itu adalah as-Sab'u al-Matsaniy dan al-Qur'an al-'Adzim"

Juga karena, surah al-Fatihah terdiri dari 7 ayat, yang kalau membaca seluruhnya sama halnya seperti membaca sepertujuh dari al-Qur'an, dan barangsiapa membaca surah al-Fatihah maka Allah akan memberikan pahala kepada pembacanya seperti pahala membaca seluruh al-Qur'an. Alasan lainnya, karena didalamnya berisi puji-pujian kepada Allah dan karena diturunkan dua kali serta karena terdiri dari 7 ayat dan pintu neraka ada 7, barangsiapa yang membuka lisannya untuk membaca surah al-Fatihah maka Allah akan mengunci 7 pintu neraka baginya, dalil yang menunjukkan hal ini sebagai sebuah riwayat bahwa malaikat Jibril berkata kepada Nabi.

والدليل عليه ما روي أن جبريل عليه السلام قال للنبي صلى الله عليه وسلم : يا محمد ، كنت أخشى العذاب على أمتك . فلما نزلت الفاتحة أمنت ، قال : لم يا جبريل؟ قال : لأن الله تعالى قال : { وإن جهنم لموعدهم أجمعين ، لها سبعة أبواب ، لكل باب منهم جزء مقسوم } وآياتها سبع فمن قرأها صارت كل آية طبقا على باب من أبواب جهنم ، فتمر أمتك عليها منها سالمين .

"Dalil yang menunjukkan atas hal itu adalah apa yang diriwayatkan bahwa malaikat Jibril berkata kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, ya Muhammad, aku sangat khawatir akan adzab yang akan menimpa atas umatmu. Maka ketika surah al-Fatihah di turunkan, aku langsung mengaminkan. Nabi berkata ; kenapa, wahai Jibril ? malaikat Jibril berkata, karena sesungguhnya Allah berfirman, "Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka" (QS. al-Hijr : 43-44). Ayat dari surah al-Fatihah adalah 7, maka barangsiapa yang membacanya, dalam setiap satu ayat yang dibaca akan menutup pintu salah satu pintu Jahannam itu, maka umatmu dapat melaluinya dengan selamat".

Qaul berikutnya, as-Sab'u minal Matsaniy ditafsirkan sebagai 7 surat-surat yang panjang, seperti al-Baqarah, Ali 'Imran, an-Nisaa', al-Maa'idah, al-An'am, al-A'raaf, al-Anfaal bersama at-Taubah. as-Samarqandiy juga menuturkan pendapat ini ketika mengomentari hadits tentang Ubay bin Ka'ab. Qaul ini dipegang oleh Ibnu Umar, Sa'id bin Jabir pada sebagian riwayat dan oleh Mujahid.

في تفسير قوله : { سبعا من المثاني } إنها السبع الطوال وهذا قول ابن عمر وسعيد بن جبير في بعض الروايات ومجاهد وهي : البقرة ، وآل عمران ، والنساء ، والمائدة ، والأنعام ، والأعراف ، والأنفال ، والتوبة معا .

Mereka beralasan karena masalah yang terkait dengan kewajiban-kewajiban, hudud, perumpamaan-perumpamaan dan ibrah-ibrah diulang-ulang didalamnya. Ar-Rabi' mengingkari qaul ini dan berkata, ayat ini (al-Hijr : 87) adalah Makiyyah sedangkan 7 surat yang disebutkan adalah Madaniyyah, tidak ada yang diturunkan darinya secara sendiri-sendiri sedangkan yang lainnya di Makkah, maka bagaimana mungkin menafsirkan ayat ini kepada 7 surat tersebut ?.

Imam al-Baghawiy tentang tafsir al-Hijr ayat 87 menuturkan sebagaimana diatas yaitu

قوله تعالى: { وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي } قال عمر وعلي: هي فاتحة الكتاب. وهو قول قتادة وعطاء والحسن وسعيد بن جبير.... وقال سعيد بن جبير عن ابن عباس: إن السبع المثاني هي السبع الطوال، أولها سورة البقرة، وآخرها الأنفال مع التوبة. وقال بعضهم: سورة يونس بدل الأنفال.

"Umar dan 'Ali berpendapat, as-Sab'ul Matsaniy adalah adalah Fatihatul Kitab, pendapat ini dipegang oleh Qatadah, 'Atha, al-Hasan dan Sa'id bin Jabir. Sedangkan Ibnu 'Abbas dan Said bin Jabir (dalam sebagian riwayat) mengatakan as-Sab'ul Matsaniy adalah 7 surat yang panjang, yaitu awal surat al-Baqarah hingga akhir al-Anfaal beserta surah at-Taubah, sebagian mengatakan ; surah Yunus bagian dari surah al-Anfaal.

Sekilas perlu digaris bahwa mengenai surah yang ketujuh (dari as-Sab'ul Matsaniy) ; didalam tafsir Imam ar-Raziy dan tafsir Imam al-Baghawiy disebutkan adalah surah al-Anfaal bersama surah at-Taubah. Perihal ini, dalam tafsir Imam al-Qurthubiy dituturkan bahwa Ulama berbeda pendapat,

واختلفوا في السابعة فقيل : يونس وقيل : الأنفال والتوبة وهو قول مجاهد وسعيد بن جبير

"Ulama berbeda pendapat dalam hal surah yang ke tujuh. Dikatakan itu adalah surah Yunus, dan dikatapan pula itu adalah surah al-Anfaal beserta sudah at-Taubah, ini adalah qaul Mujahid dan Sa'id bin Jabir.

Tidak berbeda dengan penafsiran sebelumnya, Imam asy-Syaukani pun mengatakan bahwa terdapat ikhtilaf ahl al-ilmi mengenai maksud as-Sab'u al-Matsaniy, namun Jumhur Mufassirin menafsirkannya sebagai surah al-Fatihah.

اختلف أهل العلم في السبع المثاني ماذا هي؟ فقال جمهور المفسرين : إنها الفاتحة . قال الواحدي : وأكثر المفسرين على أنها فاتحة الكتاب ، وهو قول عمر ، وعلي ، وابن مسعود ، والحسن ، ومجاهد ، وقتادة ، والربيع ، والكلبي . وزاد القرطبي : أبا هريرة وأبا العالية ، وزاد النيسابوري : الضحاك وسعيد بن جبير. ,,, . وقيل : هي السبع الطوال : البقرة ، وآل عمران ، والنساء ، والمائدة ، والأنعام ، والأعراف ، والسابعة الأنفال والتوبة؛ لأنها كسورة واحدة إذ ليس بينهما تسمية . روي هذا القول عن ابن عباس.

"Jumhur Mufassirin berkata, as-Sab'ul Matsaniy adalah surah al-Fatihah. al-Wahidiy berkata ; kebanyakan Mufassirin menafsirkannya sebagai surah al-Fatihah. Qaul ini di pegang oleh Sayyidina 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, al-Hasan, Mujahid, Qatadah, ar-Rabi' dan al-Kullabiy. Imam al-Qurthubiy menambahkan, Abu Hurairah dan Abu al-'Aliyah. Imam an-Naisaburiy juga menambahkan, ad-Dlahak dan Said bin Jabir (dalam sebagian riwayat). Dikatakan (Qil), bahwa itu adalah 7 surat yang panjang,. Qaul ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Dalam Tafsir Jalalain, dituturkan qoul yang di pegang oleh jumhur Mufassirin bahwa as-Sabul Matsaniy adalah surah al-Fatihah.

{ ولقد ءاتيناك سبعا من المثاني } قال صلى الله عليه وسلم : « هي الفاتحة » رواه الشيخان لأنها تثنى في كل ركعة { والقرءان العظيم }

Terdapat hadits-hadits yang menuturkan nama as-Sab'u al-Matsaniy, sebagaimana yang disebutkan oleh as-Samarqandiy didalam Bahrul 'Ulum dan juga oleh Ibnu Katsir. Misalnya Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Musnad Imam Ahmad bin Hanbal,

حدثنا يزيد بن هارون قال أخبرنا ابن أبي ذئب وهاشم بن القاسم عن ابن أبي ذئب عن المقبري عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في أم القرآن هي أم القرآن وهي السبع المثاني وهي القرآن العظيم

"Mengabarkan kepada kami Yazib bin Harun berkata, mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Di'bin dan Hasyim bin al-Qasim dari Ibnu Abi Di'bin dari al-Maqburiy dari Abi Hurairah daei Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, bahwa Rasulullah bersabda tentang Ummul Qur'an (surat al-Fatihah) adalah Ummul Qur'an, as-Sab'u al-Matsaniy, dan al-Qur'an al-Adzim".

Dan juga hadits dari Abu Hurairah, Imam al-Baihaqiy meriwayatkannya dalam as-Sunan al-Kubra dan Imam ath-Thabraniy didalam al-Mu'jam al-Kabir. Berikut adalah redaksi dari al-Mu'jam.

حدثنا محمد بن العباس المؤدب، قال: نا سعد بن عبد الحميد بن جعفر الأنصاري، قال: نا علي بن ثابت الجزري، عن عبد الحميد بن جعفر، عن نوح بن أبي بلال، عن سعيد المقبري، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، أنه كان يقول: الحمد لله رب العالمين سبع آيات إحداهن: بسم الله الرحمن الرحيم، وهي السبع المثاني، والقرآن العظيم، وهي أم القرآن، وفاتحة الكتاب

"Mengabarkan kepada kami Muhammad bin al-'Abbas al-Muadzdzib, ia berkata, mengabarkan kepada kami Sa'd bin Abdul Hamid bin Ja'far al-Anshariy, ia berkata, mengabarkan kepada kami 'Ali bin Tsabit al-Jazariy, dari Abdul Hamid bin Ja'far, dari Nuh bin Abi Bilal, dari Said al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam, sesungguhnya beliau mengatakan ; al-Hamdulillahi Rabbil 'Alamiy terdiri dari 7 ayat salah satunya adalah Bismillahirrahmaanirrahiim, dan itu adalah as-Sab'u al-Matsaniy dan al-Qur'an al-'Adzim, dan itu juga adalah Ummul Qur'an dan Fatihatul Kitab"

Hadits lainnya adalah hadits yang berkaitan dengan Ubay bin Ka'ab, dimana Rasulullah hendak mengajarkan (memberi tahu) kepada Ubay bin Ka'ab tentang surat yang tidak pernah diturunkan didalam kitab Taurat, tidak pula didalam Injil dan tidak ada yang serupa dengan surat tersebut didalam al-Qur'an. Ubay menanyakan tentang surat tersebut, dan Nabi juga bertanya,

قال كيف تقرأ إذا افتتحت الصلاة قال فقرأت الحمد لله رب العالمين حتى أتيت على آخرها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هي هذه السورة وهي السبع المثاني والقرآن العظيم الذي أعطيت

"(Nabi) bertanya, apa yang engkau baca ketika pembukaan shalat ? (Ubay) menjawab, aku membaca al-Hamdulillahi Rabbil 'alamiyn hingga pada ayat terakhir (selesai), maka Rasulullah berkata, itulah surat tersebut, itu adalah as-Sab'u al-Matsaniy dan al-Qur'an al-'Adzim yang telah diberikan kepadaku"

Diatas adalah redaksi dalam kitab al-Mustadrak 'alaa ash-Shahihain, disebutkan juga didalam kitab Muwatha' Imam Malik bin Anas. Redaksi yang berbeda disebutkan oleh as-Samarqandiy didalam tafsirnya, dan dikomentari bahwa sebagian Ulama mengatakan, as-Sab'u al-Matsaniy adalah 7 surat-surat panjang didalam al-Qur'an sebagaimana penjelasan yang telah berlalu dan dinamakan al-Matsaniy karena didalamnya menuturkan tentang kisah-kisah yang diulang sebanyak dua kali. Namun, kebanyakan Ahl al-Ilmi mengatakan as-Sab'u al-Matsaniy itu adalah surat al-Fatihah, juga sebagaimana penjelasan yang telah berlalu.

Nama selanjutnya adalah al-Qur'an al-'Adzim (القرآن العظيم). Dinamakan demikian karena didalamnya terkandung seluruh ilmu-ilmu al-Qur'an. al-Qurthubiy menyebutkan nama tersebut sebagai salah satu nama surah al-Fatihah dari 12 nama yang beliau sebutkan. Terdapat banyak diriwayat yang menyebutkan nama tersebut, sebagaimana beberapa riwayat yang telah disebutkan sebelumnya dan berbagai riwayat lainnya.

asy-Syifa' (الشفاء), nama ini sebagaimana riwayat dari ad-Darimiy dari Abi Sa'id al-Khudriy secara mar'fu, ia berkata, bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda,

فاتحة الكتاب شفاء من كل سم

"Fatihatul Kitab adalah obat penawar untuk tiap-tiap penyakit"

Imam al-Qurthubiy telah menuturkan riwayat ini, demikian juga Imam Ibnu Katsir dan Imam ar-Raziy. Imam ar-Raziy mengatakan bahwa penyakit-penyakit yang bisa disembuhkan dengannya adalah penyakit yang bersifat runahiyah juga yang bersifat jasmaniyah. Didalam surah al-Fatihah juga terdiri dari pengetahuan yang bersifat ushul (pokok), furu' (cabang) dan juga hal-hal yang tersembunyi (kasyaf), itu hakikat dinamakan asy-Syifa'. Imam an-Naisaburiy juga menyebutkan nama ini serta juga menamakannya sebagai asy-Syafiyah.

Berdasarkan hadits Abu Sa'id al-Khudriy yang meruqiyyah seorang laki-laki dengan Ummul Kitab (surat al-Fatihah), dan Rasulullah berkata kepadanya,

وما يدريك أنها رقية؟

"Siapa yang memberi tahukanmu bahwa surat al-Fatihah itu Ruqiyyah (jampi-jampi)"

Dari itu, surah al-Fatihah juga dinamakan ar-Ruqiyyah (الرقية), riwayat diatas dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, sebelumnya juga telah disebutkan oleh Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya. Imam Bukhari menuturkan riwayat diatas didalam Fadhailil Qur'an.

حدثنا محمد بن المثنى، حدثنا وهب، حدثنا هشام، عن محمد، بن معبد، عن أبي سعيد الخدري، قال: كنا في مسير لنا، فنزلنا، فجاءت جارية فقالت: إن سيد الحي سليم، وإن نفرنا غيب، فهل منكم راق؟ فقام معها رجل ما كنا نأبنه برقية، فرقاه، فبرأ، فأمر له بثلاثين شاة، وسقانا لبنا، فلما رجع قلنا له: أكنت تحسن رقية، أو كنت ترقي؟ قال: لا ما رقيت إلا بأم الكتاب، قلنا: لا تحدثوا شيئا حتى نأتي، أو نسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلما قدمنا المدينة ذكرناه للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: " وما كان يدريه أنها رقية، أقسموا واضربوا لي بسهم

"Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, mengabarkan kepada kami Wahb, mengabarkan kepada kami Hisyam, dari Muhammad bin Ma'bad, dari Abu Sa'id al-Khudriy berkata, bahwa ketika kami berada di perjalanan, seorang budah perempuan menghampiri kami dan berkata, "sesungguhnya Pemimpin kami tersengat binatang beracun sedangkan tidak ada lelaki tidak ada, apakah diantara kalian bisa meruqiyah ?" Maka seorang laki-laki diantara kami berdiri bersamanya, padahal tidak kami tidak pernah melihatnya meruqiyah. Kemudian laki-laki itu meruqiyahnya dan pemimpin kabilah itu sembuh. Maka pemimpin kabilah memberi 30 ekor kambing kepadanya dan memberi kami minum susu. Ketika laki-laki itu kembai, kami berkata kepadanya : "apakah kamu pandai meruqiyah atau bisa meruqiyyah ?" Laki-laki itu berkata ; "aku hanya meruqiyah dengan Ummul Kitab ", kemudian kami berkata, janganlah kalian mengatakan sesuatu sampai (berjumpa) atau bertanya kepada Rasulullah. Maka ketika telah sampai di Madinah, kami menuturkan tentang hal itu kepada Nabi, Nabi pun bersabda ; "Siapa yang memberitahukan kepadanya bahwa Ummul kitab (surah al-Fatihah) adalah Ruqiyah ? Bagi-bagikanlah diantara kalian dan berikan kepadaku satu bagian lainnya".

Menurut penuturan Imam al-Qurthubi, al-Muhallab (المهلب) berkata ; letak ruqiyyah-nya adalah ayat 5 dari surah al-Fatihah yaitu

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Dikatakan (qil), seluruh surah al-Fatihah adalah Ruqiyah berdasarkan sabda Nabi kepada seorang laki-laki, "Dan siapa yang memberitahukanmu bahwa surah al-Fatihah adalah Ruqiyah ?" sebagaimana riwayat diatas.

وما أدراك أنها رقية

Dalam hadit tersebut tidak dikatakan, "sesungguhnya didalam surah al-Fatihah ada (ayat) Ruqiyah".

أن فيها رقية

Maka dari itu, surat tersebut secara keseluruhan adalah Ruqiyah karena merupakan Fatihatul Kitab yang didalamnya terkandung berbagai macam ilmu-ilmu al-Qur'an sebagaimana penjelasan yang telah berlalu.

Al-Asas (الأساس). Nama ini disebutkan oleh Imam al-Qurthubiy, Imam ar-Raziy, Imam Ibnu Katsir juga oleh Imam an-Naisaburiy. Diriwayatkan oleh asy-Sya'bi dari Ibnu Abbas bahwa surat al-Fatihah adalah Asasul Qur'an, asasnya adalah Bismillahirrahmaanirrahiim. Ibnu Katsir menuturkan ini didalam tafsirnya. Imam an-Naisaburiy mengatakan, karena surah al-Fatihah merupakan awal surat dari al-Qur'an sebagaimana sebuah asas (al-Asas) atau karena terdiri atas asas berbagai al-Ibadat dan tuntutan-tuntutan. Sebagaimana Imam Ibnu Katsir, sebelumnya Imam al-Qurthubiy telah menuturkannya dan Imam an-Naisaburiy juga menuturkannya yaitu bahwa asy-Sya'bi berkata,

قال الشعبي : سمعت عبد الله بن عباس يقول : أساس الكتب القرآن ، وأساس القرآن فاتحة الكتاب ، وأساس الفاتحة « بسم الله الرحمن الرحيم »

"Aku mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan, "Asas al-Kitab adalah al-Qur'an, asas al-Qur'an adalah Fatihatul Kitab, dan asal al-Fatihah adalah "Bismillahirrahmaanirrahiim"."

Sedangkan Imam ar-Raziy mengemukakan beberapa pendapat terkait nama tersebut, yaitu dinamakan al-Asas karena merupakan surat pertama dalam al-Qur'an sebagaimana sebuah Asas dan karena Ibadah yang paling mulya setelah Iman adalah shalat, sedangkan didalam surah al-Fatihah terdiri atas sesuatu yang ada didalam Iman (tentang keimanan), dan shalat tidak sempurna kecuali dengan membaca surah al-Fatihah.

Perihal nama al-Wafiyyah (الوافية), karena wajib membaca seluruhnya didalam shalat dan tidak cukup jikalau hanya dibaca sebagian, sebagaimana penuturan Imam an-Naisaburiy. Menurut Imam ar-Raziy dan Imam al-Qurthubiy, Sufyan bin Uyaynah menamakan surah al-Fatihah dengan nama ini, beliau juga menuturkan bahwa asy-Sya'bi berkata, bahwa maksudnya adalah tidak cukup jika hanya sebagiannya saja.

ألا ترى أن كل سورة من القرآن لو قرىء نصفها في ركعة والنصف الثاني في ركعة أخرى لجاز ، وهذا التنصيف غير جائز في هذه السورة

"Lihatkan, bahwa seluruh surah didalam al-Qur'an jika hanya dibaca sebagian pada salah satu raka'at shalat kemudian sebagian lainnya dibaca pada raka'at berikutnya adalah boleh, sedangkan yang demikian itu tidak boleh dilakukan pada surat ini (surat al-Fatihah)"

Sedangkan dalam tafsir Imam Ibnu Katsir, disebutkan bahwa Sufyan bin Uyaynah menamakannya al-Waqiyyah (الواقية), dengan menggunakan huruf "Qaf" yang maknanya adalah Tameng.

Lafadh al-Qurthubiy, an-Naisaburiy dan ar-Raziy ketika menuturkan tentang penyebutan oleh Sufyan bin Uyaynah yang penulis baca menggunakan "Fa'" bukan "Qaf" yang bermakna "sempurna atau mencakup seluruhnya". Dalam kitab milik Imam as-Suyuthiy yaitu kitab al-Itqan (الإتقان) juga mengatakan bahwa Sufyan bin Uyaynah mengatakan al-Wafiyyah, yang mana juga merupakan pendapat dalam kitab al-Kasyaf. Dalam kitab Fiqh Imam an-Nawawiy yaitu kitab al-Majmu' (3/331) mengatakan,

(السابع) الوافية - بالفاء - لانها لا تنقص فيقرأ بعضها في ركعة وبعضها في اخرى بخلاف غيرها

"al-Wafiyah –bil Faa' (dengan huruf fa'), karena surah al-Fatihah tidak boleh dikurangi yaitu tidak boleh membaca sebagian pada salah satu raka'at shalat, kemudian sebagiannya dibaca pada raka'at yang lain, hal ini berbeda dengan surah-surah yang lainnya"

Dengan demikian nama al-Waqiyah adalah penyebutan oleh Imam Ibnu Katsir, wallaahu a'lam. Berikutnya, al-Kafiyyah (الكافية) juga merupakan salah satu nama surah al-Fatihah. Imam ar-Raziy dan Imam Ibnu Katsir telah menuturkan alasan penamaan tersebut sebagaimana alasan tersebut juga dinukil oleh Imam al-Qurthubiy dari Yahya bin Abi Katsir, dia berkata,

قال يحيى بن أبي كثير : لأنها تكفي عن سواها ولا يكفي سواها عنها

"karena surath al-Fatihah sudah mencukupi tanpa yang lainnya, sedangkan yang lainnya tidak mencukupi tanpa surah al-Fatihah"

Menurut apa yang dituturkan oleh Imam al-Qurthubiy, dalil yang menunjukkan nama tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Khalad al-Iskandariy, dia berkata,

قال النبي صلى الله عليه وسلم أم القرآن عوض من غيرها وليس غيرها منها عوضا

"Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, Ummul Qur'an adalah penggani dari surah yang lainnya, sedangkan yang lainnya bukan pengganti bagi surah al-Fatihah"

Didalam kitabnya Imam ar-Raziy juga menuturkan riwayat tersebut namun dari Mahmud bin ar-Rabi' dari Ubadah bin ash-Shamit. Imam Ibnu Katsir mengatakan hadits diatas adalah hadits mursal. Imam an-Naisaburiy juga turut menuturkan riwayat tersebut dalam kitab tafsirnya.

Selain nama diatas, Imam ar-Raziy juga menyebutkan nama as-Su'al (السؤال), nama ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah mengkisahkan dari Rabbul 'Izzah subhahuu wa Ta'alaa, bahwa Allah berfirman,

من شغله ذكرى عن سؤالي أعطيته أفضل ما أعطي السائلين

"Barangsiapa yang meminta (memohon) kepada-Ku dengan disertai dzikir, maka aku akan memberikan kepadanya yang lebih utama daripada ketika Aku memberi kepada orang-orang yang meminta (sekedar memohon) saja".

Nama asy-Syukr (سورة الشكر) dan ad-Dua' (سورة الدعاء) juga disebutkan oleh Imam ar-Raziy didalam tafsirnya. Mengenai asy-Syukr, beliau mengatakan karena sudah al-Fatihah merupakan pujian terhadap Allah tentang kebesaran, kemulyaan dan kebaikan (al-Ihsan). Sedangkan ad-Dua', karena didalam surah al-Fatihah terdiri dari do'a-do'a seperti,

اهدنا الصراط المستقيم

"Tunjukilah kami jalan yang lurus (shirathal Mustaqim)"

Imam an-Naisaburiy menuturkan dua nama lagi dalam tafsirnya yang berbeda dengan nama yang lainnya yaitu surah Ta'limul Mas'alah (سورة تعليم المسألة) dan surah al-Kanz (سورة الكنز).

Mengenai nama Ta'limul Mas'alah, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa Ta'alaa didalam surah al-Fatihah mengajarkan hamba-hambanya tentang adab dalam memohon (berdo'a) yaitu dengan dimulai dengan pujian, dengan hati yang ikhlas dan kemudian berdoa'.

Dan mengenai nama al-Kanz. Berdasarkan penuturan Imam Ibnu Katsir didalam tafsirnya bahwa as-Samarqandiy juga menamakan surah al-Fatihah sebagai al-Kanz. Dalam tafsir Imam an-Naisaburiy meyebutkan, nama surah al-Kanz berdasarkan riwayat dari 'Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda,

نزلت فاتحة الكتاب بمكة من كنز تحت العرش

"Fatihatul Kitab diturunkan di Mekkah dari Kanzu (simpanan yang tebal) dibawah Arsy'

Oleh karena itu juga, kebanyakan Ulama mengatakan, bahwa surah tersebut adalah Makiyyah, maka Mujahid terlah keliru dalam hal ini karena mengatakan Madaniyah. Bagaimana tidak keliru, sesungguhnya telah shahih dari Nabi didalam hadits Ubay bin Ka'aa,

وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم في حديث أبي بن كعب أنها من أول ما نزل من القرآن وأنها السبع المثاني ، وسورة الحجر مكية بلا خلاف وفيها قوله تعالى : { ولقد آتيناك سبعا من المثاني }

"sungguh shahih dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam tentang hadits Ubay bin Ka'ab bahwa sudah al-Fatihah merupakan surah yang diturunkan awal-awal, dan itu adalah as-Sab'ul Matsaniy"

Begitulah penuturan Imam a-Naisaburiy didalam kitabnya. Sebagai tambahan, Imam asy-Suyuthiy didalam kitab al-Itqan (1/61-62) turut menuturkan nama-nama surah al-Fatihah yaitu Fatihatul Kitab, Fatihatul Qur'an, Ummal kitab dan Ummul Qur'an, al-Qur'an al-'Adzim, as-Sab'ul Matsaniy, al-Kafiyah, al-Asas, an-Nur (النور), surah al-Hamd dan surah asy-Syukr, surah al-Hamd al-Uwlaa dan surah al-Hamd al-Qashriy, ar-Raqiyah, asy-Syifa', asy-Syafiyah, surah ash-Shalah, surah ad-Du'a, surah as-Su'al, surah Ta'limul mas'alah, surah al-Munajah (سورة المناجاة) dan surah at-Tafwidl (سورة التفويض).

Sedangkan Imam an-Nawawiy didalam kitab fiqhnya yaitu kitab al-Majmu' menyebutkan 10 nama, dimana dalam penuturan Imam an-Nawawiy bahwa Imam Abu Ishhaq ats-Tsa'labiy dan Imam-imam lainnya telah menceritakannya, yaitu Fatihatul Kitab, surah al-Hamd, Ummul Kitab wa Ummul Qur'an, ash-Shalah, as-Sab'ul Matsaniy, al-Wafiyah, al-Kafiyah, al-Asas, asy-Syifa'. Imam Nawawiy mengatakan bahwa Imam al-Mawardiy didalam tafsirnya menuturkan bahwa Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nama Ummul Kitab, kebanyakan Ulama memperbolehkannya sedangkan al-Hasan dan Ibnu Siyrin melarangnya, kedunya mengklaim bahwa Ummul kitab adalah nama untuk Lauh Mahfudz dan tidak digunakan untuk yang lainnya. Imam an-Nawawiy berkata, pendapat ini keliru sebab terdapat hadits-hadits shahih yang telah menuturkan nama tersebut.

Sekian sedikit penuturan tentang nama surah al-Fatihah, kurang lebihnya mohon maaf dan diharapkan koresiknya untuk perbaikan tulisan ini. Wallaahu A'lam...

Bacaan (Referensi) ;

- Kitab Ma'alimut Tanzil, Imam al-Baghawiy (w. 516 H)- Kitab Fathul Qadir,

- Kitab Fathul Qadir, Imam asy-Syaukani (w. 1250 H)

- Kitab Mafatihul Ghaib, Imam Fakhruddin ar-Raziy (w. 606 H)

- Kitab Bahrul 'Ulum, Imam as-Samarqandiy (w. 373 H)

- Kitab Gharaibul Qur'an wa Raghaibul Furqan, Imam an-Naisaburiy (w. 728 H)

- Kitab Tafsir al-Jalalin, Imam al-Mahally (w. 864 H) & as-Suyuthiy (w. 911 H)

- Kitab al-Muharrar al-Wajiz, Imam Ibnu 'Athiyah al-Andalusiy (w. 546 H)

- Kitab Tafsirul Qur'an al-'Adzim, Imam Ibnu Katsir (w. 774 H)

- Kitab al-Jami' li Ahkamil Qur'an, Imam al-Qurthubiy (w. 671 H)

- Kitab al-Itqan fiy 'Ulumil Qur'an, Imam as-Suyuthiy (w. 911 H)

- Kitab al-Majmu syarah al-Muhadzab, Imam an-Nawawiy (w. 676 H)

- Dan beberapa kitab hadits.
  Yang Sumber : > http://ashhabur-royi.blogspot.com/


Penulis dan Pengarang : Tgk.Zulfikar.H.Hasby Al'aqila

Hukum Membuka Lembaran Alquran Dengan Air Ludah atau Air Liur.


Image result for Alquran

Ada beberapa pendapat ulama yang berbeda dalam hal ini, baim secara indentifikasi ataupun struktural adab dan keadaan, diamana dasarnya alquran adalah sebuah kitab suci ummat muslimin, yang sudah sepatutnya dijaga dan di pelihara akan segala hal dan keadaannya, maka dalam hal ini al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam ِkitab Hawasyi Madaniyah menjelaskan tentang keharaman hal tersebut”

الحواشي المدنية /خ الاول/ص ١١٦
وفى فتاوي الشارح (يعنى ابن حجر) يحرم مس المصحف باصبع عليه ريق اذ يحرم ايصال شئ من البصاق الى شئ من اجزا المصحف الى ان قل. والكلام حيث كان على الاصبع ريق يلوث الورقة اما اذا جف الريق بحيث لاينفصل منه شئ يلوث الورقة فلا حرمة الخ اھ .

Artinya : Diharamkan menyentuh mushaf dengan tangan yang ada air ludahnya. Karena tidak diperbolehkan air ludah mengenai dari bagian-bagian mushaf. Keharaman yang tersebut di atas apabila tangan tersebut masih basah dengan air ludah hingga dapat membasahi mushaf. Namun, jika air ludah tersebut sudah kering dan tidak membasahi mushaf, maka tidak diharamkan menyentuh mushaf dengan tangan tersebut.
[Al- Hawasyi Madaniyah/juz 1/hal 116].

Demikian juga pendapat lain mengatakan Haram jika membasahi mushaf Al-qur'an, cek saja di Tarsyih 26 dan busral- karim juz 1 , hal- 28

Kemudian lain halnya masalah ini adanya khilaf,..
Dimana menurut Imam Ibnu Hajar tidak boleh, sedang menurut Imam Ramli boleh sebab asal bertujuan untuk mempermudah membukanya dan tidak ada maksud menghinanya.

وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ يَجُوزُ مَا لَا يُشْعِرُ بِالْإِهَانَةِ كَالْبُصَاقِ عَلَى اللَّوْحِ لِمَحْوِهِ ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ ا هـ .

وَفِي فَتَاوَى الْجَمَالِ الرَّمْلِيِّ جَوَازُ ذَلِكَ حَيْثُ قُصِدَ بِهِ الْإِعَانَةُ عَلَى مَحْوِ الْكِتَابَةِ وَفِي فَتَاوَى الشَّارِحِ يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِإِصْبَعٍ عَلَيْهِ رِيقٌ إذْ يَحْرُمُ إيصَالُ شَيْءٍ مِنْ الْبُصَاقِ إلَى شَيْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ

Dan didalam Kitab Qalyubi ala Al-mahalli dikatakan “Boleh membuka alQuran dengan jari yang diberi ludah asalkan tidak menimbulkan penghinaan karena dapat mempermudah, Sedang dalam Fatawy Al-jamaal Ar-ramli kebolehan tersebut bila bertujuan mempermudah membukanya.
Dalam Fataawa Assyaarih dijelaskan “Haram memegang mushaf dengan jemari yang dibasahi ludah karena HARAM hukumnya mendatangkan sesuatu dari ludah pada bagian sekecil apapun dari mushaf.  [Tuhfah Al-Muhtaaj II/150

Penulis dan Pengarang : Tgk.Zulfikar.H.Hasby Al'aqila

Dalil dan Pengertian Suluk, Macam-Macam Suluk Serta Bentuk-Bentuknya


Image result for suluk

1. Pengertian Suluk
Secara etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingga husnul-suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan".1
Secara garis besar suluk merupakan kegiatan seseorang untuk menuju kedekatan diri kepada Allah, suluk hampir sama dengan tarekat, yakni cara mendekakan diri kepada Tuhan. Hanya saja, kalau tarekat masih bersifat konseptual, sedangkan suluk sudah dalam bentuk teknis oprasional2 Oprasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar teori melainkan langsung dipraktikkan dalam tingkah laku keseharian, kata suluk berasal dari ungkapan terminologi dalam al-Qur’an yakni Fasluki dalam surat An-Nahl (16) Ayat 69.3 yang artinya : Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dan dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, yang mana di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. ”
Kata Fasluki disini adalah kata perintah (Amr) dari Allah Swt  untuk selalu berjalan di jalan-Nya jalan yang lurus.
Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.4
Di dalam kunci memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber yang hakiki. Hal ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan penghambaannya kepada Allah.5
Khan Sahib Kahja Khan (pakar bidang tasawuf dari India) mangatakan bahwa salik ialah orang yang tengah menempuh perjalan rohani (suluk).6
Cigril Glasse dalam Ensiklopedi Islam, yang dimaksud suluk adalah keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan menuju kepada Allah.7
Menurut Imam al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlaq, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal bathin. Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya untuk persiapan wushul kepada-Nya.8
Gufron A. Mas'adi dalam Ensiklopedi Islam, mengatakan: suluk merupakan keadaan jiwa atau tindakan kalangan shufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Tuhan.
Istilah ini juga menunjukkan pada sebuah quasi magis dan sebuah ucapan spiritualis yang bercorak lokal Indonesia dikenal sebagai upacara suluk. Dalam upacara ini pelakunya berusaha mencapai kekuatan psikis atau magis dengan mempertahankan diri dari serangan dunia spirit selama satu malam, yang mana seseorang dimatikan secara simbolik.9
Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat madzmumah atau buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir dan bathin).10
Phase-phase yang harus ditempuh ke arah mencapai hakikat suluk adalah:
a. Marhalah Amal Lahir yaitu melakukan amal ibadah yang bersifat lahir atau nyata.
b. Marhalah Amal Bathin atau muroqobah (mendekatkan diri kepada Allah) dengan jalan membersihkan diri dari maksiat lahir dan batin.
c. Marhalah Riyadlah atau melatih diri dan mujahadah atau mendorong diri untuk selau berusaha lebih dekat dengan Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 69: "Dan mereka yang mujahadah atau bersungguh-sungguh mencari Allah, sungguh kami (Allah) akan menunjukkan jalan tarekat kepada kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan.11
Maksud mujahadah ini adalah melakukan jihad lahir untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga mustahiq memperoleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesarannya.12

2. Macam-Macam Suluk
Secara umum suluk dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Suluk Ibadah, Suluk Riyadah dan Suluk Mujahadah.
a. Suluk Dalam Bentuk Ibadah.
Bentuk dari suluk ini adalah dengan melakukan aktifitas ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, seperti berwudlu, shalat dan puasa, kemudian melakukan kesunahan-kesunahan lain, begitu juga dzikir dan wirid.
Jalan yang ditempuh dalam suluk semacam ini mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian menurut anggapan shufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu sama, ada yang lekas mencapainya, ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dalam beribadah itu belum berubah yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah dan kegemaran dalam ibadah lahir itu.13
b. Suluk Dalam Bentuk Riyadah.
Suluk Riyadlah ini adalah pelajaran akhlak untuk melatih diri agar jiwa ini selalu dekat dengan Allah seperti yang diperintah dalam Islam.
Begitu juga hal-hal lainnya yang berkaitan dengan suluk dalam bentuk riyadah semua sifat-sifat baik (akhlaqul karimah) dijadikan perbuatan dan amalan sehari-hari, supanya perbuatannya bisa terhindar dari sifat-sifat madzmumah.
c. Suluk Mujahadah
Suluk yang ketiga ini adalah untuk latihan hidup menderita. Salah satu usaha shufi untuk menormalisir kepribadian ini ialah berkelana dalam daerah-daerah yang belum dikenalnya, adapun bentuk amalan suluk mujahadah yang dimaksud adalah seperti:
1) Membantu orang yang membutuhkan di derah-derah yang di datangi.
2) Melakukan perjalan ke tempat yang sama sekali yang belum pernah di datanginya seperti naik turun ke gunung dan jurang, masuk hutan.
Sedang tujuannya adalah untuk:
1) Merubah akhlaq yang kikir menjadi orang yang dermawan.
2) Menambah akhlaq menjadi penyayang terhadap sesama.
3) Merubah akhlaq menjadi peka terhadap keadaan .
Di dalam buku Tasawuf Dari Shufisme Klasik ke Neo-Shufisme penulis A. Rivay Siregar menambahkan dalam ragam suluk yaitu:
a. Suluk Penderitaan, yakni suluk yang dijalani melalui berbagai rintangan dan kesulitan yang menuntut keuletan dan keberanian, kesabaran dan ketabahan.
Suluk model ini biasanya dijalani melalui pengembaraan atau berkelana keberbagai kawasan. Suluk penderitaan ini tidak mesti ragawi, tetapi juga bisa dilaksanakan melalui pengembaraan dan penjelajahanspiritual. Tujuannya lebih terfokus pada pembacaan kepribadian yang merdeka, mandiri dan percanya diri. Hal ini menandakan jiwa kita sudah bebas dari belenggu-belenggu kedunawian yang membuat diri kita tidak bebas.
b. Suluk Pengabdian, dalam hal ini pengabdian pada sesama, yaitu suluk yang bersifat humanistik, bersifat satria yang bertujuan tumbuh suburnya rasa solidaritas dan cinta sesama makhluk Tuhan.14
Semua itu dalam rangka untuk membentuk kepribadian yang mencerminkan akhlakul karimah. Jadi orang yang bersuluk adalah orang yang menginginkan kedekatan dengan Allah. Melalui berbagai cara riyadloh dohir maupaun bathin.

3. Bentuk-Bentuk Suluk
Bersuluk adalah melakukan berbagi laku yang tujuannya untuk mendekakan diri kepada Allah seperti berikut ini:
            a. ‘Uzlah
‘Uzlah secara epistimologis berasal dari kata ‘azala, ya’zilu, azlan yang artinya menjauhkan diri atau memisahkan dari masyarakat.15 Dalam istilah tasawuf uzlah berarti mengasingkan atau memisahkan diri dari masyarakat, terutama yang di dalamnya terdapat banyak terjadi maksiat dan kejahatan, karena (masyarakat yang demikian) dianggap dapat mengganggu dzikir kepada Allah bahkan lebih dari itu dapat menyeret pada kejahatan dan kehancuran pribadi.16
Imam al-Gazali menegaskan bahwa uzlah adalah jalan memusatkan diri untuk beribadah, bertafakur, dan menjalankan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT sekaligus untuk menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia ciptaan Tuhan baik dengan urusan duniawi maupun ukhrawi, alam langit dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh panca indra. Hal demikian tidak akan tercapai tanpa mengasingkan diri atau uzlah dari kesibukan dan pergaulan sehari-hari dengan orang lain.17
Ada yang mengatakan bawa amalan uzlah adalah amalan yang paling baik atau pilihan yang paling tepat, hal ini sesuai hadist yang di riwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudzri:  “Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudzri, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan bertanya, siapa manusia yang paling utama ya Rasulullah? Rasululah menjawab: Ia adalah orang yang berjihad dengan diri dan harta bendanya di jalan Allah, kemudian seseorang tadi bertanya, kemaudian siapa ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ia adalah orang yang pergi beruzlah naik turun gunung dengan selalu beribadah kepada Tuhannya.18
Hadist di atas menggambarkan betapa mulianya orang yang beruzlah, riyadlah pergi dari rumah untuk beribadah kepada Allah, yaitu untuk mendapatkan ketenangan dan kejernihan jiwa.
Orang harus melakuan pengasingan diri, sehingga ia untuk beberapa lama tidak terlibat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan begitu diharapakan dia akan mampu merenung tentang diri dan masyarakatnya secara jujur, karena tidak mungkin memahami suatu masalah secara benar jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu.
Keterlibatan kita tentu akan mempengaruhi pandangan dan penilaian, sehingga terjadi kekeliruan. Sebab pada umumnya seseorang memandang sesuatu hanya sesuai dengan keinginannya sendiri.19
Seperti halnya Rasulullah pada masa itu sering pergi (memutuskan interaksi dengan mayarakat sesaat) ke gua Hira’ untuk mencari pencerahan atas probelmatika sosial saat itu.
Syekh Abu Bakar al-Waraq berkata: ketika dunia sudah dilanda fitnah, masyarakatnya sudah mengalami dekandensi moral, agama sudah ditinggal-kan maka orang yang paling dekat dengan keselamatan adalah orang yang beruzlah, meninggalkan kerumunan orang yang penuh maksiat.20
Uzlah menjadi suatu keharusan bagi seorang salik yangutama jika zaman sudah rusak, yang dimaksud zaman rusak adalah: ketika kondisi sosial sudah banyak mengalami kerusakan, kerusakan moral agama, banyaknya orang-orang bodoh, manusia sudah tidak menepati janji dan sering terjadi huru-hara dan pembunuhan. Di dalam sebuah hadist di terangkan bahwa, “Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari, yang di dalamnya diturunkan banyak orang bodoh, dan dia ngkatnya ilmu, dan banyaknya al-harju, sahabat bertanya, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan al-harju? Rasulullah menjawab: (al-harju adalah) pembunuhan”.21
Yang kedua, khawatir melakuan ha-hal yang diharamkan,22 jadi sebetulnya uzlah adalah fase di mana seorang salik menyendiri untuk mencari sebuah kebenaran, inspirasi, tafakur, perenungan dan menghindar dari kerusakan.
Manfaat uzlah menurut Imam Al-Gazali meliputi dua hal, yakni manfaat keagamaan dan manfaat keduniawian. Diantara manfaat keagamaan adalah dimungkinkannya seseorang lebih dapat melakukan ketaatan-ketaatan agama secara lebih serius dan intensif seperi rajin beribadah, bertafakur, dan juga menghindari larangan-larangan agama seperti munculnya sifat riya’, gibah, dengki serta terseret pada pergaulan-pergaulan buruk lainnya.
Adapun manfaat-manfaat yang bersifat keduniawian, seperti lebih berkonsentarsi dalam berkerja, terhidar dari pertikaian, peperangan, konflik yang berkepanjangan dan lain sebagainnya.23
Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, membagi ‘uzlah dalam tiga kategori:
Pertama, manusia yang ‘uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya adalah kondisi manusia-manusia muttaqin dan telah mencapai keparipurnaan.
Kedua, manusia yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumanyan baik, namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong arus Rahmat Allah dalam kondisinya.
Dan ketiga, ‘uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka yang disebut dengan al-Mutakhalli atau Takhalli. Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki tahalli (berias dengan akhlak mulia), dilanjutkan dengan tajalli (menjadi manifestasi cahaya Ilahi).
Kategori manusia yang ‘uzlah lahir dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:
1) Orang yang ‘uzlah agar dirinya bisa selamat,
2) Orang yang ‘uzlah karena ingin meraih sesuatu, dan
3) Orang yang ‘uzlah untuk mendapatkan kenikmatan.24
Uzlah dipandang dari sifatnya dibagi dua macam yaitu:
1) Uzlah bathin adalah kondisi bathin yang selalu berusaha, riyadlah, pergi, meninggalkan kesenangan duniawi selalu mendekatkan diri kepada Allah walaupun masih tinggal dan hidup bersama masyarakat.
2) Uzlah dzahir ialah uzlah yang membawa seganap jiwa dan raga bukan yang bersifat simbolik, melainkan bersifat dzahir, (riyadlah bersifat fisik) semisal pergi kegunung-gunung, hutan, berjalan menjadi musafir untuk bertafakur, beribadah kepada Allah supaya mendapatkan rindla -Nya.25
Untuk beruzlah sebenarnya butuh satu niat yaitu bertekad untuk menjadi lebih baik, dan beristiqamah di jalan Allah, karena uzlah akan sia-sia mana kala niat dan tekatnya kurang kuat. Hal ini yang diperlukan adalah riyadlah atau latihan ruhani.
b. Khalwat
Khalwat,26 jama’nya khalawat secara etimologi adalah tempat yang sunyi, atau tersembunyi,27 sedangakan menurut terminologi tasawuf khalwat dilihat secara dzohir dan batin. Khalwat zahir ialah apabila seseorang mengambil keputusan untuk memisahkan dirinya daripada dunia, memencilkan dirinya di dalam satu ruangan yang terpisah daripada orang ramai supaya manusia dan makhluk di dalam dunia selamat daripada kelakuan dan kewujudannya yang tidak diingini. Dia juga berharap pengasingan itu akan mendidik egonya.28
Dalam Ensiklopedi Islam, khalwat di artikan menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak, selama beberapa waku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.29
Ibrahim Baisyni mengatakan bahwa khalawat merupakan salah satu bentuk riyadhah yang paling efektif dan dicintai oleh para shufi, karena dengan khalwat akan dapat memfokuskan arah jiwa shufi dan ia akan menjadi cermat serta menyiapkan diri untuk memperoleh kesucian dan pencerahan jiwa,30 dan sifatnya juga untuk menyembunyikan amal, karena dengan menyembunyikan amal bisa terhidar dari sifat takabur, dan riya’, para shufi lebih mengutamakan kerahasiaan amal dari pada amalnya diketahui oleh banyak orang. Karena khalwat dimaksudkan untuk belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk selalu ingat kepada Allah Ta’ala.31
Imam al-Gazali berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhamad saw yang pernah melakukan khalwat di gua Hira’ sebelum menerima wahyu.32 Khalwat juga menjadi sifatnya orang-orang shufi.33
Jadi khalwat adalah salah satu cara bagaimana salik bisa lebih dekat dengan Khaliqnya melalui penyendirian. Hati yang berkhalwat bisa saja dalam keadaan bersama masyrakat karena khalwat bisa secara bathin yaitu keadaan hati yang selalu menyendiri dari pengaruh duniawi dan disibukkan bersama Ilahi.
            c. Zuhud
1) Makna Zuhud
Secara etimologis zuhud[34] berarti “raghaba’an syai’in wa tara kahu” yang artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. “Zahada Fi al dun-ya” berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud dinamakan zahid, zuhad atau zahidun. Zahidin jamaknya Zuhdan, artinya kecil atau sedikit. Dan zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia, dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal.
Dengan jalan berpuasa dan kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yaitu ridla bertemu dan ma’rifat Allah SWT.35
Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia. Rasulullah pernah bersaba tentang zuhud sebagai berikut:[36] “Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu di cinta Allah, zuhudlah terhadap apa yang dimiliki ma nusia niscaya kamu akan di cintai oleh mereka.”
Dalam pandangan kaum shufi bahwa dunia dan segala kehidupan materi dan isinya adalah merupakan sumber kemaksiatan, kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan, menyebabkan kejahatan dan dosa. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai ghayah (tujuan akhir) dalam hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu, maka seorang shufi dituntut untuk terlebih dahulu meninggalkan atau memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan ruhani dari ha-hal yang bersifat duniawi.
Dengan demikian segala apa yang dilakukan dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan,37 sehingga dunia tidak berpengaruh dalam kehidupan, tidak menjadikan susah maupun senang, karena kesusahan menerutnya adalah ketika jiwa kita jauh dengan Tuhan dan kesenangan sejati adalah ketika dekat dengan-Nya. Karena susah dan senang dalam dunia bersifat sementara, sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nisa’, 4: 77: “…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.38
Akan tetapi zuhud tidak berarti sama sekali meniggalkan kehidupan dunia dan semata-mata mengurus kehidupan akhirat saja,39 zuhud adalah bagai mana cara seseorang memandang dunia.
2) Tanda-Tanda Zuhud
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan.40
Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah SWT.
Biasanya sikap zuhud di tunjukkan dengan jalan mengasingkan hati dengan menjalankan serangkaian ibadah, seperti: shalat, puasa, dzikir maupun bentuk ritual badan yang lain.41
3) Tingkatan-Tingkatan Zuhud
Adapun tingkatan-tingkatan zuhud ada tiga macam yaitu:42
a) Mutazahiddin, adalah orang-orang yang berusaha zuhud dan berusaha atau bermujahadah untuk memalingkan hatinya dari dunia.
b) Zahid ya’riffu fi Zuhdihi adalah orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan isinya karena Allah, akan tetapi masih terbesit sesuatu yang hilang (masih merasakan kehilangan).
c) Zuhdi fi Zuhdi adalah orang-orang yang zuhud yang sudah tidak merasakan kezuhudannya sebagai hal yang istimewa melainkan sebagai hal yang biasa.
Jadi kezuhudan tidak bisa kita lihat dengan sedikitnya harta benda, pangkat, jabatan atau embel-embel keduniawian yang lain, melainkan pengalaman psikis manusia berkaitan dengan bagaimana ia memandang materi dunia ini.
d. Tawakal
Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.89 Allah SWT berfirman: “…Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya …” (QS: Ath Tholaq: 2-3)43
Secara harfiah tawakal berasal dari kata wakala 44  yang artinya menyerahkan, mempercayakan, atau mewakili urusan kepada orang lain. Tawakal adalah menyerahkan dan berserah diri sepenuhnya atas segala perkara dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT. Tawakal merupakan ciri orang yang beriman.
Tawakal bukan berarti bersifat pasif melainkan aktif, artinya adalah seseorang bertawakal harus disertai dengan usaha terlebih dahulu, mewujud-kan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah.
Tawakal yang menjadi ciri mukmin sejati bukanlah tawakal dalam arti kemalasan yang menyebabkan tidak mau berusaha, karena tawakal diperintahkan untuk manusia agar manusia bisa merasa tenang dalam setiap usaha dan perilakunya.
Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam bukunya Minhajul-Muslimin menyatakan bahwa tawakal yang merupakan bagian langsung dari iman dan aqidahnya ialah taat kepada Allah dengan menghadirkan semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang hendak dia kerjakan,45 dengan demikian menjadikan hidup bukan hanya mengandai-andai, tidak bermalas-malasan karena dunia ini ada hukum sebab akibat, maka manusia harus berikhtiar untuk mencukupi kebutuhannya di dunia. Disamping itu juga ikhtiar adalah tanda bahwa kita mensyukuri nikmta-Nya.
Imam al-Gazali mengatakan bahwa maqam tawakal terdiri dari tiga unsur Ilmu, hal dan amalan, maksudnya adalah: hal merupakan tawakal dalam dirinya sedangkan Ilmu adalah dasar dari tawakal, amal merupkan buwahnya.46
Seorang shufi berkata: Tawakal adalah merupakan hal yang rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang pada hakikatnya meninggal-kan usaha yang bukan karena Allah, mereka merasa selalu bersama Allah dimanapun berada.47 Seperti halnya Sahl bin Abdullah ketika ditanya tentang tawakal, ia menjelaskan “Qalbu yang hidup bersama Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain”.48
Ketawakalan orang berbeda-bedada, tergantung kadar keimanan yang dimiliki sebagai bekal dalam berusaha dan bertindak, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, bahwa tawakal mempunyai tiga tingkatan pertama: Tawakal: maksudnya adalah orang yang bertawakal akan merasa tentram dengan janji-Nya. Kedua: Taslim: adalah orang yang merasa cukup dengan pengetahuan-Nya. Ketiga: Tafwidh: adalah orang yang merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya. Seperti digambarkan dalam perilaku makan tanpa tamak.49
Amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tawakal adalah antara usaha dan keyakinan, keyakinan bahwa yang dikerjakan maupun yang diusahakan akan mendapatkan pertolongan dan bimbingan dari Allah SWT yang menjadikan hati tenang dan tentram. Jadi tawakal adalah sikap dalam mengarungi samudra kehidupan kerena hati dan tindakannya selalu seimbang dan selaras dengan nilai-nilai keimanan.
e. Sabar
Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah shabara, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi shabran. Atau Secara etimolgi sabar berasal dari kata shabara-yasbiru-shabran yang artinya tabah hati berani (atas sesuatu)50 sabar adalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan yang diperintahan oleh Allah SWT. Menguatkan makna seperti ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keada annya itu melewati batas.” (QS.Al-Kahfi: 28)51
Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keinginan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabbnya serta selalu mengharap keridla an-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.52
Serta dalam berbagai keadaan yang sulit, berat, mencemaskan, susah, senang dan bahagia. Sabar juga bermakana ketabahan dalam menerima sesuatu kepahitan dan kesulitan,53 atau dalam keadaan berbahagia atau berduka baik secara jasmani maupun ruhani. Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nahl: 127: “Bersabarlah, dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah SWT 54
Kesabaran adalah perasaan menerima semua anugrah dari Allah dengan perasaan bahagia, karena kesabaransesungguhnya tanpa batas tergatung sebarapa jauh, atau seberapa kuat kualitasnya diri kita dalam bersabar. Allah juga menjadikan sabar sebagai jalan untuk meminta pertolongan sesuai dengan firman-Nya: “Dan mintalah pertolngan dengan Sabar…” (QS. Al- Baqarah: 45)55 Allah memerintahkan kepada kita untuk menjadikan sabar sebagai jalan untuk memohon pertolongan dalam memecahkan problem kehidupan.56 Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam bersabar menjadikan ketenangan dalam bathin yang membuat kita berfikir lebih jernih sehingga orang sabar mampu mengatasi berbagai problem kehidupan yang ada.
Dalam buku 30 petunjuk Islam menangani setres dikatakan bahwa sabar ada dua macam dan mempunyai pengertian yang berbeda: pertama sabar yang berarti tenang, tabah dan dengan penuh kerelaan hati menghadapi berbagai macam cobaan. Kedua, mushabarah yang berarti menghadapi lawan di dalam memperebutkan sesuatu yang memerlukan ketabahan dan keteguhan.57
Di dalam Risalah al-Qusyairiyah membagi sabar dalam beberapa macam: sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tidak di upayakan. Mengenai sabar dengan upaya terbagi menjadi dua: sabar dalam menjalankan printah-Nya dan sabar dalam menjauhkan larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalani ketentuan-ketentuan-Nya yang menimbulkan kesukaran baginya.58
Kesabaran tidak terikat oleh tempat dan waku, kesabaran dalam berbagai keadan bagi seorang salik adalah sebuah keharusan sehingga mampu memahami diri yang bisa mendekatkan epada Allah.
Kesabaran bukanlah hanya masalah bagaimana menata hati dalam menghadapi kehidupan akan tetapi dituntut juga bagaimana merealisasikan kesabaran kita dalam langkah yang kongkrit. Bukti bahwa kita mampu bersabar adalah ketika kita tidak mengeluh dengan apa yang datang dalam kehidupan kita bahkan sebaliknya kita akan merasa semangat dalam melihat hidup ini, karena dalam hati orang yang sabar dipenuhi ketenangan yaitu ketenangan bersama Allah, keluh kesah, beban hidup dipasrahkan kepada-Nya. Sebagai mana firman-Nya:  “…Bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)59 Jadi Allahlah teman sejati bagi orang yang bersabar. Karena Allah sangat menyayangi orang-orang yang berserah diri dan bersabar.
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa bertasawuf dan bersuluk adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ibarat satu koin mata uang, satu sisi menguatkan sisi yang lain, orang yang mengaku bertasawuf sudah pasti bersuluk, karena makna dari tasawuf adalah bersuluk secara hakiki.
Orang yang bersuluk tidak bisa dibatasi bagaimana amal, usaha atau lakunya, garis besarnya ialah tergantung pada niatan awal yaitu selalu ingin dekat dan ingin mendapat rindla dari Allah. Jadi seperti teori–teori yang digambarkan diatas mulai dari uzlah, khalwat, zuhud, tawakal, sabar adalah sebagian kecil dari bertasawuf, dan salah satu laku seorang salik, yang menginginkan kebersamaan bersama Allah SWT. Allah Maha Agung, Maha Luas Karunianya, segala sumber makluk yang tampak maupun yang tidak tampak, dzohir maupun batin di segala penjuru terdapat wajah-Nya. Maka untuk mendekati-Nya pun tergantung seorang shufi, akan tetapi teori-tori yang dituturkan di atas dibatasi agar pembahasannya tidak terlau melebar dan hanya berkutat pada masalah uzlah, khalwat, zuhud, tawakal dan sabar karena menyesuaikan dengan tema yang di angkat.
Maka bagi seseorang yang ingin menempuh jalan kepada llahi ber-tasawuf dan bersuluk berjanlah dengan kebeningan hati, hati yang bening menerima cahanya jalan yang bersal dari Allah, Allah memuliakan orang yang memuliakan dengan jalan-Nya. Allah berfirman: “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir: 10)60



1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 292
2 A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Kalsik ke Neo-Sufisme, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 281
3 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 523
4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
5 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf: Khasanah Istilah Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 268
6 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
7 Cgril Glasse, Ensiklopedi Islam, Terj. Gufron A. Mas'adi, cet.3, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 376
8 Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994.21
9 Cgril Glasse, op. cit., hlm. 376
10 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1979, hlm.251
11 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 787
12 Ibid., hlm.18
13 Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992, hlm.122
14 A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 282
15 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, Pustaka Progresif, Surabaya, 1999, hlm. 495
16 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 972
17 Masharuddin, Pembrontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007, hlm. 178
18 Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, Minahus Saninyyah ‘ala Wasiyah al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 11
19 Nurcholis Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, cet. 2, 1995, hlm. 192
20 Sayidi Abdul Wahab as-Sya’rani, op. cit., hlm. 11
21 Lih. Al-Khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, jilid 2, t. th, hlm. 1345
22 Lihat dalam kitab Turast yang dikarang oleh Syeh Nawawi bin Umar diterangkan bahwa Uzlah adalah hal yang sangat mulia ketika zaman sudah rusak, dan sekarang ini adalah waktu yang paling utama untuk beruzlah. Syekh Nawawi bin Umar, Qami’ Tugyan ‘Ala Manzdumati Syu’bul Iman, hlml. 9-10
23 Masharuddin, op. cit., hlm. 180
24 http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=73
25 Kedua istilah uzlah ini hanya digunakan penulis untuk memudahkan pengertian bahwa ibadah atau suluk uzlah bukan berarti hanya bersifat dzohir (lahir) melainkan ada juga yang bersifat bathin tanpa riyadloh dzohir, selain itu juga untuk menghindari perdebatan dikalangan ulama’ berkaitan boleh tidaknya beruzlah.
26 Pada dasarnya khalwat dengan uzlah adalah sama yaitu meniadakan atau pemutusan hubungan dengan masyarakat untuk bermunajat, bertafakur kepada Allah, akan tetapi perbedannya adalah khalwat bersifat lebih sederhana yaitu menyendiri di tempat yang sepi (misalanya sendiri di dalam kamar dan berdzikir kepada Allah) sedangkan uzlah lebih membutukan tindakan yang lebih extrim (misalnya meninggalkan rumah pergi ke perbukitan atau pegunungan yang belum pernah dilewati), ada juga yang mengatakan bahwa sifatnya uzlah adalah khalwat, uzlah adalah pemutusan hubungan dengan masyrakat kalau sudah memutuskan hubungan dengan masyarakat secara otomatis kondisinya menjadi sendiri dan menyendiri. Lihat Ibid, Pembrontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun Tasawuf, hlm. 178. Lihat juga dalam kitab turast karangan Saidi Abdul Wahab as-Sya’rani, Minhus Saninyyah ‘ala Wasiyah al-Mutabauliyah, Toha Putar, Sematang, t. th, hlm. 9
27 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, op. cit., hlm. 175
28 http://tamansufi.tripod.com/asrar23.html
29 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm.36
30 Masharuddin, op. cit., hlm. 178
31 Abubakar Aceh, op. cit., hlm. 332
32Dewan Redaksi, op. cit., hlm.36
33 Abd. Al-Karim ibn Hawazin al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 1990, hlm. 18
34 Trem zuhud dalam Kamus Indonesai Arab al-Bisri diartikan sebagai ketiadaan perhatian. Jadi ketika kita zuhud terhadap sesuatu menjadikan kita tidak memperhatikan terhadap sesuatu itu. Lih. Ibid, Kamus Indonesai Arab al-Bisri, hlm. 301 dan juga dalam ayat dalam al-Qur’an yang menyiratkan tentang kezuhudan teraktup dalam surat al-Hasr: ayat 9. Zuhud sering di sebut asketisme adalah maqamat yang kedua setelah taubah yang memiliki makna sebagai sikap menjauhkan diri dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi. Lihat. Buku Tasawuf yang ditulis oleh H. Asep. dkk. PSW UIN Jakarta, 2005, hlm. 115
35 Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen, Pustaka Pelajar. Jakarta: 1997
36 Al-khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini op. cit., hlm. 1373-1374
37 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 35
38 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 169
39 Djamaluddin Ahmad Al-Buny, op. cit., hlm. 103
40 http://www.dakwatuna.com/2007/zuhud/
41 Asep Usmar Ismail, Wiwi St. Sajarah dan Surarin, op. cit., hlm. 115
42 Lih. Ibnu Rajab al-Hambali, Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalihin, Ibid., hlm. 77
43 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 1133
44 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 506
45 Ahmad Yani, Be Excellent, Menjadi Pribadi Terpuji, Al-Qalam, Jakarta, 2007, hlm. 53
46 Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs, Pena, Jakarta, 2006, hlm, 353
47 Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-Ajaran Sufi, Terj. Drs. Nasir Yusuf, Pustaka, Bandung, 1985, Hlm. 134
48 Imam al-Qusyairy, Risalaul Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf. Terj. Mohammad Lukman hakiem, Risalah Gusti, cet. 4, 2000, hlm183
49 Ibid., hlm183
50 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, t.th, hlm. 211
51H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 569
52 http://www.dakwatuna.com/2007/sabar-keajaiban-seorang-mukmin/
53 Ahmad Yani, op. cit., hlm. 52
54 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 537
55 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 17
56 Ouys Al-Kharani, Shalat Solution, Medina Center, Semarang, t.th, hlm. 6
57 Muhamad Thalib, 30 Petunjuk Islam Menangani Setres, Gema Risalah Press, Jakarta, 1997 hlm. 47
58 Imam al-Qusyairy, op. cit., hlm. 209
59 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 347
60 H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 853


Penulis dan Pengarang : Tgk.Zulfikar.H.Hasby Al'aqila