Pemikiran Kalam Al Asy’ari Dan Al Maturidi

Januari 31, 2018 Unknown 0 Comments


Image result for tauhid

Pemikiran Teologi Al – Asy’ari
Formulasi pemikiran Al – Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antar formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat Ortodoks.Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.  Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn Kullab)(w.854 M) 

Pemikiran – Pemikiran Al – Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :


A. Tuhan dan Sifat – Sifat – Nya

Perbedaan Pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat – sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib hukumnya.Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomosif), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam al – quran dan sunnah bahwa sifat – sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat – sifat allah tidak lain selain esensi – Nya, dan tangan, kaki,telingan allah atau arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memiliki sifat – sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat – sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat – sifat allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat – sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat – sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi – Nya.Dengan demikian, tidak berbeda dengan Nya. 


B. Kebebasan Dalam Berkehendak

Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatanya.Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antar dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra – determinisme semata – mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatanya sendiri. 

Untuk menengahi dua pendapat diatas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakanya.Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu. 


C. Akal Dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk

 Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementar mu’tazilah mengutamakan akal 

D. Qadimnya Al-Qur’an

Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan).Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim .Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.  Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: 


إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ     
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

E. Melihat Allah

Al – Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok Otodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullahdi akhir  Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,  tetapi tidak digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. 

F. Keadilan

Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa allah adalah pemilik mutlak.

G. Kedudukan Orang Berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.  Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. 

Pemikiran Teologi Al-Maturidi

A. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya.

Jika akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali bdengan petunjuk ajaran wahyu. 

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah.Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

B. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya.Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Dengan demikian tidak ada peretentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. 

Dalam masaslah pemakaian daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah dan rida. Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak tuhan,tetapi memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik ats kehendak dan kerelaan tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.

C. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.

D. Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah.Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan masalah sifat tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari,Ia berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basyar, dan sebagainya.  Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat. Menrut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca : inheren) dzat tanpa terpisah, (innaha lam takun’ ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi allah tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme  karna sifat tidak berwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim.

Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah.Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat – sifat tuhan.

E. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

F. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak).Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara. 

G. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. 

Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepadamanusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakantuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

H. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. 

I. Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi.Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia.Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.Jadi, pengutusan rosul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi.Tanpa mengikuti jaran wahyu yang disampaikan rosul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuanya. 

Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah.Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.


Penulis dan Pengarang : Tgk.Zulfikar.H.Hasby Al'aqila

You Might Also Like

0 komentar: